Sabtu, 07 Januari 2012

SENYUM DAN WANGI PARA SYUHADA, BUKTI KAROMAH ALLAH SWT KEPADA MUJAHIDIN

Ahad, 9 November 2008. Menjelang siang sebuah sms dari istri Asy Syahid (Insya Allah) Imam Samudra beredar di kalangan masyarakat Muslim. Begini isinya: Bismillah, Saya bersaksi Abdul Aziz bin Syihabuddin bin Nakhail Imam Samudra Qudamah SYAHID. Wajahnya bersih baunya harum… Alhamdulillah.
Informasi dari istri Imam Samudra rahimahullah ini diperkuat kesaksian adik beliau, Lulu Jamaluddin. “Jenazah kakak wangi sekali waktu dikeluarkan dari peti. Seperti minyak wangi yang sering dipakainya,” ujar Lulu Jamaluddin dikutip inilah.com, di rumahnya, Lopang Gede, Serang
Sementara itu, kakak Imam Samudra, Khoirul Anwar yang turut memasukan jenazah ke liang lahat begitu terpukau saat melihat sang adik terakhir kali. “Wajahnya seperti anak kecil yang baru saja dapat permen. Seperti bayi yang baru saja dimandikan bidan,” katanya. Lebih lanjut Khairul mengatakan, “Wajahnya begitu bahagia dan bersih. Bibirnya tampak senyum.”
Sementara itu dari Lamongan, koresponden Arrahmah yang berada di Tenggulun menceritakan bagaimana bau harum semerbak bertebaran dalam ruangan ketika mereka ingin melaksanakan sholat jenazah. “Bau harum semerbak bertebaran dalam ruangan. Kedua mujahid terlihat tersenyum dan wajahnya bersih, sangat bersih, serta jauh lebih tampan. Allahu Akbar!”
Foto wajah bahagia dan bersih disertai senyum tipis Asy Syahid (Insya Allah) Imam Samudra ini kemudian dipublikasikan secara luas oleh situs arrahmah.com dengan tulisan berjudul: “Asy Syahid Imam Samudra Bergabung Dengan Kafilah Syuhada”.
Sejak pemuatan foto eksklusif Imam Samudra tersebut, yakni hari Ahad, 9 November 2008 sore hari, situs arrahmah.com kebanjiran pengunjung yang sangat luar biasa. Antusias kaum Muslimin untuk mengetahui secara langsung foto orang yang syahid menyebabkan situs arrahmah.com berkali-kali mengalami down akibat beban pengunjung yang overload. Subhanallah!
Senyum dan Wangi Para Syuhada
Melihat senyum orang yang mati syahid (syuhada) membawa kesan tersendiri bagi orang-orang beriman. Dengan kain kafan seadanya, terkadang masih tercecer darah segar pasca pertempuran, selalu terlihat senyum tersungging indah di bibir mereka, meski dengan beragam ekspresi. Pancaran kegembiraan dan rasa puas yang tak terhingga seolah menjadi hal yang ingin mereka sampaikan kepada dunia.
Memang, Allah SWT telah menyiapkan bagi mujahidin dan orang-orang yang mati syahid di jalanNya berbagai karomah, anugerah, ketinggian derajat dan kedudukan yang tidak dapat dicapai melalui ibadah-ibadah yang lain.
Bahkan Nabi kita, tauladan kita, Muhammad SAW berkeinginan kuat untuk mendapatkan keistimewaan ini, mati syahid. Lihatlah, betapa manusia terbaik di alam ini bercita-cita pula untuk syahid fi sabilillah. Beliau SAW bersabda :
“Demi yang jiwa Muhammad berada di tanganya, aku ingin berperang lalu mati syahid, kemudian berperang lagi dan mati lagi, lalu berperang lagi dan mati lagi.”
Rasulullah SAW juga bersabda :
“Berdiri satu jam di jalan Allah adalah lebih baik daripada berdiri shalat pada malam lailatul qadar di samping Hajar Aswad.” (HR. Ibnu Hibban, Al Baihaqi, dan yang lain)
Jihad fie sabilillah adalah puncak tertinggi (dzarwatus sanam) Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Dzarwatus sanam (puncak tertinggi) Islam adalah jihad, tidak akan dapat mencapainya kecuali orang-orang yang paling utama di antara mereka.” (HR. Ath Thabrani)
Syekh Abdullah Azzam, pelopor jihad abad modern, banyak menceritakan karomah jihad dan mujahidin, utamanya yang berjihad di Afghanistan. Beliau mengatakan bahwa di suatu ketika beliau sedang bersama Jalaluddin Haqqani di Paktia dan melihat seorang mujahidin yang syahid. Beliau melihat betapa cerahnya wajah si syahid seolah-olah memancarkan nur (cahaya). Saya teringat firman Allah yang berbunyi : “Wujuhun yauma idzin nadhirah”. Kami meneruskan perjalanan, lalu para pemuda yang hadir di sana satu sama lain bertanya, “Apakah kalian mencium bau wanginya?” “Ya” kata yang lain, “Wangi sekali…”
Ghulam Muhyiddin dari Wardak menceritakan bahwa pada bulan Ramadhan 1404 H, yang saat itu musim panas, gugur 15 mujahidin sebagai syuhada. Selama tiga bulan mereka berada di udara terbuka, kepanasan dan kedinginan, namun tidak seorang pun dari mereka yang berbau busuk, malah sebaliknya, bau mereka itu wangi.
Tentang wangi tubuh seorang yang mati syahid, Syekh Abdullah Azzam juga punya pengalaman sendiri. Ketika beliau membawa surat yang diambil dari kantong Asy Syahid Abdul Wahid, panglima Baghman yang gugur sesudah I’edul Adha tahun 1405 H. Surat yang terkena darah si syahid itu wangi sekali baunya, meskipun sudah dua bulan surat itu ada di tangan beliau sejak dia tewas. Selain itu, sebuah surat yang juga terkena darah syahid Yahya Siniyor, seorang mujahidin Arab berada di tangan Abul Hasan Al Madani lebih dari dua bulan. Namun bau wanginya masih tetap. Lalu sebagian dikirimkan kepada keluarganya agar dapat membuktikan sendiri bau wangi tersebut.
Dalam Risalah Taklimat, semacam peryataan sikap, Imam Samudra, Mukhlas, dan Amrozi rahimahullah pernah menyatakan : …Dan seandainya kami dieksekusi, maka cucuran dan tetesan darah kami-Insya Allah, bi izdnillah-akan menjadi nur (cahaya lentera) bagi kaum mukminin, dan menjadi nar (neraka, api penghangus) bagi kaum kafirin dan kaum munafiqin…
Foto Senyum Para Mujahidin
Banyak foto mujahidin yang diekspos media menampilkan mereka semua sedang tersenyum, misalnya foto asy syahid Syamil Basayev, seorang komandan mujahidin Chechnya, tersenyum tipis dengan wajah putih berseri di antara lebatnya jenggot beliau.
Begitu juga foto Syekh Abu Mus’ab Az Zarqawi, yang syahid akibat bombardir rudal pasukan kafir Amerika dan sekutu-sekutunya di Baqubah, Iraq. Fotonya dipublikasikan di seluruh media, terutama internet. Foto beliau nampak tersebyum tipis (seperti foto Imam Samudra) dan dengan wajah yang terlihat bersih dan utuh.
Begitu pula foto asy syahid Mulla Daadullah, mujahidin Afghanistan, juru bicara Emirat Islam Afghanistan, Juga foto Syekh Abdul Rashid Ghazi, ulama mujahidin yang syahid dibantai toghut Pakistan di Masjid Lal. Bahkan Komander Khattab, pemimpin Mujahidin Arab di Chechnya didokumentasikan oleh kawan-kawannya ketika syahid dan kaum muslimin dapat dengan mudah mengakses foto tersebut.
Dalam salah satu video produksi Ar Rahmah Media berjudul The Caravan of Syuhada In Afghanistan Land ; Seharum Angin Surga, seorang mujahid dari Afghanistan, Haidarah Hawin menceritakan bagaimana kondisi komandan beliau Usamah Al Hamawi, rahimahullah, yang mendapatkan kemuliaan mati syahid di medan jihad Afghanistan. Berikut kesaksiannya :
“Beliau terbunuh dalam sebuah sergapan musuh. Beliau adalah orang yang sangat rendah hati dan aku bergaul dengan beliau selama 4 tahun. Demi Allah, wajahnya sangat bersinar terlihat seakan-akan dia tersenyum dan tidak terbunuh. Aku dan temanku mencium bau wangi dari jasad Usamah, aneh! Bau apa ini ?, aku mencium bau wanginya sangat kuat. Demi Allah, selama hidupku aku tak pernah mencium bau sewangi ini. Saya masih menyimpan sejumlah uang kertas yang saya usapkan pada darahnya ketika itu. Dari darahnya ini tercium semerbak bau misk dan tidak hilang hingga 40 hari sejak beliau meninggal.”
Subhanallah. Senyum mujahidin dan wangi tubuh mereka adalah sebuah bukti dari Allah SWT kepada para mujahidin bahwa mereka di sisi Allah SWT menempati derajat yang mulia dan karena hal itu pulalah mereka tersenyum dan bergembira. Allah SWT berfirman :
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran (3) : 168-171)
Wallahu’alam bis Showab!
M Fachry, International Jihad Analys Ar Rahmah Media

International Jihad Analysis

Ar Rahmah Media Network

http://www.arrahmah.com

The State of Islamic Media

Kisah Ajaib Sahabat Rasulullah Yang Jenazahnya Dilindungi Lebah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 10 mata-mata yang dipimpin Ashim bin Tsabit al-Anshari kakek Ashim bin al-Khaththab. Ketika mereka tiba di daerah Huddah antara Asafan dan Makkah mereka berhenti di sebuah kampung suku Hudhail yang biasa disebut sebagai Bani Luhayan.

Kemudian Bani Luhayan mengirim sekitar 100 orang ahli panah untuk mengejar para mata-mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berhasil menemukan sisa makanan berupa biji kurma yang mereka makan di tempat istirahat itu. Mereka berkata, ‘Ini adalah biji kurma Madinah, kita harus mengikuti jejak mereka.’

Ashim merasa rombongannya diikuti Bani Luhayan, kemudian mereka berlindung di sebuah kebun. Bani Luhayan berkata, ‘Turun dan menyerahlah, kami akan membuat perjanjian dan tidak akan membunuh salah seorang di antara kalian.’ Ashim bin Tsabit berkata, ‘Aku tidak akan menyerahkan diri pada orang kafir.’ Lalu memanjatkan doa, ‘Ya Allah, beritakan kondisi kami ini kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wa sallam.’

Rombongan Bani Luhayan melempari utusan Rasulullah dengan tombak, sehingga Ashim pun terbunuh. Utusan Rasulullah tinggal tiga orang, mereka setuju untuk membuat perjanjian.

Mereka itu adalah Hubaib, Zaid bin Dasnah dan seorang lelaki yang kemudian ditombak pula setelah mengikatnya. Laki-laki yang ketiga itu berkata, ‘Ini adalah penghianatan pertama. Demi Allah, aku tidak akan berkompromi kepadamu karena aku telah memiliki teladan (sahabat-sahabatku yang terbunuh).’

Kemudian rombongan Bani Hudhail membawa pergi Hubaib dan Zaid bin Dasnah, mereka berdua dijual. Ini terjadi setelah peperangan Badar. Adalah Bani Harits bin Amr bin Nufail yang membeli Hubaib. Karena Hubaib adalah orang yang membunuh al-Harits bin Amir pada peperangan Badar. Kini Hubaib menjadi tawanan Bani al-Harits yang telah bersepakat untuk membunuhnya.

Pada suatu hari Hubaib meminjam pisau silet dari salah seorang anak perempuan al-Harits untuk mencukur kumisnya, perempuan itu meminjaminya. Tiba-tiba anak laki-laki perempuan itu mendekati Hubaib bahkan duduk dipangkuannya tanpa sepengetahuan ibunya.

Sementara tangan kanan Hubaib memegang silet. Wanita itu berkata, ‘Aku sangat kaget.’ Hubaib pun mengetahui yang kualami. Hubaib berkata, ‘Apakah kamu khawatir aku akan membunuh anakmu? Aku tidak mungkin membunuhnya.’

Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan sebaik Hubaib. Dan demi Allah pada suatu hari, aku melihat Hubaib makan setangkai anggur dari tangannya padahal kedua tangannya dibelenggu dengan besi, sementara di Makkah sedang tidak musim buah. Sungguh itu merupakan rizki yang dianugrahkan Allah kepada Hubaib.’

Ketika Bani al-Harits membawa keluar Hubaib dari tanah haram untuk membunuhnya, Hubaib berkata, ‘Berilah aku kesempatan untuk mengerjakan shalat dua rakaat.’ Mereka mengizinkan shalat dua rakaat. Hubaib berkata, ‘Demi Allah, sekiranya kalian tidak menuduhku berputus asa pasti aku menambah shalatku.’ Lalu Hubaib memanjatkan doa, ‘Ya Allah, susutkanlah jumlah bilangan mereka, musnahkanlah mereka, sehingga tidak ada seorang pun dari keturunannya yang hidup,’ lalu mengucapkan syair:

Mati bagiku bukan masalah, selama aku mati dalam keadaan Islam
Dengan cara apa saja Allah lah tempat kembaliku
Semua itu aku kurbankan demi Engkau Ya Allah
Jika Engkau berkenan,
berkahilah aku berada dalam tembolok burung karena lukaku (syahid)
Lalu Abu Sirwa’ah Uqbah bin Harits tampil untuk membunuh Hubaib. Hubaib adalah orang Islam pertama yang dibunuh dan sebelum dibunuh melakukan shalat.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahu para sahabat pada hari disiksanya Hubaib, bahwa kaum Quraisy mengutus beberapa orang untuk mencari bukti bahwa Ashim bin Tsabit telah terbunuh dalam peristiwa itu, mereka mencari potongan tubuh Ashim. Karena Ashim adalah yang membunuh salah seorang pembesar Quraisy. Tetapi Allah melindungi jenazah Ashim dengan mengirim sejenis sekawanan lebah yang melindungi jenazah Ashim, sehingga orang-orang itu tidak berhasil memotong bagian tubuh jenazah Ashim sedikit pun.” (HR. Al-Bukhari, no. 3989; Abu Dawud, no. 2660.). (ar/kisahmuslim)
http://www.voa-islam.com/lintasberita/suaramedia/2011/04/13/14120/kisah-ajaib-sahabat-rasulullah-yang-jenazahnya-dilindungi-lebah/

Abu Hanifah An-Nu’man (Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasannya)

Suatu ketika Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama para sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukan kalian, siapa dia?” mereja menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”

Tidaklah berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wawasannya.

Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekeuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik, “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan argumentasinya untuk membela kebenaran?”

Sebagai bukti, ada seorang dari Kuffah yang disesatkan oleh Allah. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.

Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang berkata fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu ruku’ dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah.”

Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja yang Anda sebutkan sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya, “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”

Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan kerasnya, tapi engkau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”

Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Asataghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku katakan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”

Contoh lain ada seorang khawarij bernama Adh-Dhahak Asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata:

Adh-Dhahak, “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”

Abu Hanifah, “Bertaubat dari apa?”

Adh-Dhahak, “Dari pendapat Anda yang membenarkannya tahkim antara Ali dan Muawiyah.”

Abu Hanifah, “Maukan Anda berdiskusi dengan saya dalam masalah ini?”

Adh-Dhahak, “Baiklah, saya bersedia.”

Abu Hanifah, “Bila kita nanit berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”

Adh-Dhahak, “Pilihlah sesuka Anda.”

Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:

Abu Hanifah, “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya,) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”

Adh-Dhahak, “Ya, saya rela.”

Abu Hanifah, “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah yang bertahkim?”

Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.

Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata:

Jahm, “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”

Abu Hanifah, “Bedialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang kamu bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”

Jahm, “Bagaimana Anda bisa memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar pendapat-pendapat saya?”

Abu Hanifah, “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).

Jahm, “Anda menghakimi saya secara sepihak?”

Abu Hanifah, “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.”

Jahm, “Saya tidak ingin membicarakan dan menanyakan tentang apa-apa kecuali tentang keimanan.”

Abu Hanifah, “Apakah hingga saat ini kamu belum mengetahui juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakan kepada saya?”

Jahm, “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”

Abu Hanifah, “Keraguan dalam keimanan adalah kufur.”

Jahm, “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”

Abu Hanifah, “Silakan bertanya!”

Jahm, “Telah sampai kepadaku tentang seorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”

Abu Hanifah, “Dia mati dalam kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”

Jahm, “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya?”

Abu Hanifah, “Bila Anda beriman kepada Al-Qur’an dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Al-Qur’an dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”

Jahm, “Bahkan saya mengimani dan menjadikannya sebagai hujjah.”

Abu Hanifah, “Sesungguhnya Allah menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu darinya. Kitabullah dan hadits Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:

“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). Mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, Padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?". Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya),” (Al-Maidah: 83-85).

Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’,” (Al-Baqarah: 136).

Allah menyuruh mereka mengucapkannya dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadits Rasulullah saw, “Ucapkanlah, Laa ilaaha illallah, niscaya kalian akan beruntung.”

Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.

Rasulullah saw. bersabda, “Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa megucapkan laa ilaaha illallah..”

Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikelaurkan dari neraka barangsiap yang mengenal Allah.”

Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya sekedar dengan pengetahuannya, niscaya Iblis juga termasuk mukmin, sebab dia menganal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya.

“Saya lebih baik daripadanya: Engkau cipatakan saya dari api sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah,” (Al-A’raf: 12).

Kemudian:

“Berkata Iblis, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tanggulah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan’.” (Al-Hijr: 36).

Juga firman Allah Ta’ala:

“Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yagn lurus,” (Al-A’raf: 16).

Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.

Firman Allah Ta’ala:

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini kebenarannya,” (An-Naml: 14).

Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.

Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Qur’an dan adakalanya dengan hadits-hadits. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang telah saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.

Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:

“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera. Gelombangnya kecil dan anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapalnya sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tengang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan kapal. Masuk akalkah cerita ini?”

Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipunn, wahai syaikh. Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendir tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang dan benda-benda langit serta burung yang berterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”

Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan Al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasinya yang tepat.

Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghasab.

Ketika wasiat itu didengar oleh khalifah Al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”

Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh Al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berakta, “Semoga Allah merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shoum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”

Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 406-416.
http://alislamu.com/kisah-tabiin/3940-abu-hanifah-an-numan-bukti-akan-kepandaian-dan-kecerdasannya.html#.TwhVEqpuVqk.blogger

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost